Lapar: makanan dan sex. – episode satu
submitted January 5, 2008
Categories: In Indonesian
Cerita ini ditulis berdasarkan pengalaman dan fantasi seorang teman. Terima kasih atas pengalamannya. Apabila ada diantara pembaca yang juga ingin memberikan ide fantasi, pengalaman seru, atau pengalaman cinta kalian atau apa saja, tulis saja ke tulissurat@gmail.com. Ditunggu ya, dan semoga anda suka dengan cerita ini.
.
Pagi itu aku baru saja memasang tv baru untuk mobilku. Kecil tapi paling tidak bisa membantu menghilangkan kebosanan apalagi saat macet di jalan. Jakarta adalah kota yang tiada hari tanpa macet. Selain macet, ternyata tv ini ada gunanya untuk ‘memancing’ lelaki.
Ceritanya sehabis pulang kerja jam 6an sore waktu itu, tiba tiba aku merasa lapar sekali. Pas kebetulan aku melewati salah satu jalan di Jakarta Pusat dimana satu jalan itu terdapat banyak sekali penjual nasi uduk.
Karena saking banyaknya penjual, aku tidak tahu mana yang paling enak. Berhubung perutku sudah berbunyi dan radar gay aku bergerak, sesaat aku melewati satu warung yang ternyata para penjualnya selain ganteng juga memiliki badan yang bagus. (Dalam hati aku berpikir apakah mungkin semuanya lelaki binan?)
Aku memakirkan mobilku di tempat yang sepi lalu berjalan menuju ke warung tersebut. Sang penjual menanyakan pesanan. Saat itu masih cukup ‘pagi’ sehingga mereka belum siap siap dan aku harus menunggu beberapa waktu yang cukup lama. Walau bisa mengamati tubuh masing masing penjual, lama lama karena lelah aku mengatakan kepada penjual yang melayani aku untuk mengantarkan pesanan ke mobil aku.
Sampai di mobil aku menyalakan mesinnya. Tiba tiba timbullah pikirkan, “Kenapa tidak aku stel aja film bokep? Mumpung masih lama ini.” Akhirnya aku mengambil salah satu koleksi film dari tempat cd-ku.
Hujan turun dengan deras. Selang 10 menit aku mendengar ada yang mengetuk di jendel. Ternyata abang nasi uduk itu sudah datang. Aku langsung mematikan film tersebut dan membuka jendela.
“Wah, aku baru pertama kali nonton film gituan tuh.” Jelas abang itu.
Tentu aku tidak menghilangkan kesempatan itu. “Mau lanjut nonton lagi? Tanggung sih tadi tinggal dikit. Mau ngak? Masuk ke mobil aja.” Tanyaku.
Aku menyalakan kembali film gay itu sambil bertanya, “Kamu gak aneh nonton film ginian? Ini kan cowok ama cowok.”
“Aneh sih, Mas. Cuman aku belum pernah lihat sih. Hubungan aja belum pernah. Gak nyangka ya bule punya panjang dan gede?” Komentarnya.
Selagi ia menonton film itu, aku mengamati tubuhnya dengan kulit yang hitam tapi bersih. Aku kemudian memberanikan diri untuk memegang lengannya yang berotot. “Lengan kamu berotot juga ya?”
“Ya, habisnya kerja berat sih. Pagi kerja tukang, sorenya jualan nasi uduk.”
“Tapi abis kerja mandi dong?”
“Ya, harus dong. Kalau gak bisa bisa dimarahin ama majikan kali.”
“Emangnya semua abang abang disana juga tukang kalau pagi? Lalu mandinya rame rame dong?” Nanya aku lugu.
“Kan biar gak buang waktu. Kalau telat dikit aja pelanggan biasanya dah datang. Bisa bisa keduluan warung yang lain.” Jelas ia sambil aku pegang pahanya.
Sampailah saat salah satu bule di adegan itu untuk mencapai puncaknya dengan mengeluarkan desahan desahan yang menggairahkan. Ia langsung mengamatinya dengan seksama dan aku mulai memegang jendolan di celananya. “Aku buka ya?”
Tanpa menjawab, aku membuka reseleting celananya. Terlihatlah celana dalam biru usang dengan tonjolan yang keras. Begitu aku buka tonjolan itu, akhirnya aku bisa melihat penis coklat yang sudah disunat berdiri dengan tegarnya. Sama seperti lengannya, penisnya juga terlihat sangat berurat. Ia terlihat malu. “Malu mas, kecil.”
“Ah, gak kok. Punya besar, indah dan berurat lagi.” Aku berkomentar sambil mengambil pelumas yang kusimpan di mobil. (Untuk apa ya?)
Aku lalu melicinkan tanganku dengan pelumas dan mengocok penisnya. “Apa itu mas? Dingin banget ya?”
“Ini pelicin namanya. Kalau udah disunat, biar gak susah ngocoknya harus pake ini. Kamu belum pernah ngocok ya?”
“Aku…aku belum pernah.” Jawabnya malu malu.
Ia nampaknya sangat menikmati kocokanku. Aku lalu mengambil tangannya dan meletakan di penisku yang masih di dalam celana. “Burung mas besar juga ya.”
Tak lama kemudian, “Mas, kayaknya aku mau kencing nih. Mass…. Mas… aku gak tahan nih.”
“Ngak apa apa. Keluarin aja.” Sebelum ia mengeluarkan pejunya, aku mengoralnya. Aku merasakan pejunya yang hangat keluar seperti tembakan di mulutku. Rasanya sangat nikmat, manis dan sedikit asin.
“Ih mas, itu kan jorok.” Katanya.
“Ngak kok. Kamu belum coba aja. Kalau dah coba pasti ketagihan deh.”
Aku kemudian membayar nasi uduk tersebut sekaligus memberikan tips tambahan atas ‘fresh juice’ nya. “Bang, besok mau ketemu lagi ngak? Aku bawain film film lain deh.” “Boleh aja sih mas, tapi abis tutup warung jam 11 malem ya.” Jawabnya dengan gembira dan lugu.
Bagaimana kisah berikutnya? Aku baru bisa menceritakannya setelah besok malam. Tunggu untuk episode dua.
End of .